Semenjak ratusan tahun telah dilakukan eksploitasi sumberdaya mineral batu bara di Kalimantan Selatan. Penambangan besar-besaran batu bara mengubah wajah daratan pulau Borneo dari gunung menjadi danau-danau. Menyebabkan perubahan besar pada bentang alam menjadi lubang-lubang galian dipenuhi air yang biasa disebut“kolong”.
Bekas lubang galian terisi oleh air, tersebar di seluruh Kalimantan Selatan, tidak hanya satu tapi banyak. dari data WALHI tahun 2018 terdapat 814 lubang tambang yang belum direklamasi. Air di bekas tambang selalu indah dengan berwarna biru kehijau-hijauan. Namun, berbahaya, ada logam berat dan zat asam tambang terkandung di dalamnya.
Ironisnya, dengan kondisi air yang jernih tersebut, banyak masyarakat memanfaatkan air bekas galian tambang tersebut untuk konsumsi, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
Apalagi saat musim kemarau, ketika sebagian besar air sumur, air tanah, dan air sungai di sekitar kawasan pertambangan mengalami kekeringan. Membuat masyarakat setempat berhasrat menjadikan air kolong sebagai sumber air baku untuk kebutuhan sehari-hari.
Ditinjau dari sisi kimia, biologi, dan fisika, air kolong tidak memenuhi standar mutu air baku layak konsumsi, pengairan pertanian ataupun media untuk budidaya ikan.
Mengonsumsi air, ikan yang dibudidayakan, atau tanaman yang irigasinya menggunakan air bekas galian tambang sangat membahayakan kesehatan. Risiko penyakitnya beragam, mulai dari kanker, hingga penyakit degeneratif lainnya.
Namun, dalam Permen ESDM tahun 2014, disebutkan bahwa lahan bekas tambang boleh digunakan untuk keperluan lainnya seperti sumber air, budidaya perikanan, irigasi dan wisata.