Oleh : Dyan Fitri Nugraha, M.Si
Kasus cemaran etilen glikol dan dietilen glikol pada sediaan sirup membuat masyarakat panik. Konsumsi
informasi dari media dan influencers yang tidak tepat dapat berdampak pada kecemasan yang menular.
Meski terdapat pula otoritas, media, influencers yang bijak dalam mengelola dan menyampaikan informasi, namun bila tidak diikuti dengan literasi digital maka dapat pula berdampak dalam misinformasi. Kejelasan penyebaran informasi harus sejelas-jelasnya, perlu ada ruang terbuka yang bersifat interaksi dua arah, dari berbagai kepentingan, untuk menyelesaikan polemik di tengah masyarakat.
Etilen glikol dan dietilen glikol, merupakan termasuk dalam senyawa alkohol. Dietilen glikol (DEG)
merupakan pelarut yang umum digunakan dalam berbagai produk komersial. DEG kerap digunakan sebagai lubrikan pada produk tekstil, komponen penting dalam cairan rem, termasuk dalam formulasi antifreezing, pelarut tinta printer dan tekstil, dan lain sebagainya. Sementara Etilen glikol (EG), sering digunakan sebagai antifreezing atau bagian dari pendingin. Sama halnya seperti DEG, EG juga kerap digunakan dalam berbagai produk industri, tidak terkecuali pestisida dan bahan pencampur dalam pembuatan lotion. Tentu, bila melihat kegunaan dari EG dan DEG pada uraian di atas, akan menimbulkan pertanyaan dan kepanikan, seperti: “Apakah ini yang dikonsumsi oleh anak saya?” atau, “Pantas saja terdapat korban meninggal dunia, karena zat yang dikonsumsi tidak untuk manusia, melaikan untuk produk yang non-konsumtif.” Apakah pertanyaan dan pernyataan tersebut salah untuk diungkapkan? Jawabannya, tidak. Kedua kalimat tersebut menjadi wajar untuk diutarakan oleh masyarakat. Tinggal bagaimana sebenarnya otoritas terkait mengelola pertanyaan dan kegelisahan masyarakat.
EG dan DEG merupakan bahan tambahan yang dilarang dalam produk kefarmasian
EG dan DEG merupakan substansi zat yang berbahaya, dan penggunaannya dilarang dalam pembuatan
produk yang diperuntukkan bagi masyarakat. Terlebih, berbagai kasus keracunan yang pernah terjadi di
masa lampau, seperti Haiti, India, Amerika Serikat, dan Panama. Namun, kehadiran EG dan DEG sangat
sulit untuk terelakkan dalam pembuatan produk kefarmasian yang memiliki pelarut propilen glikol,
polietilen glikol, sorbitol dan gliserol. Dalam proses pembuatannya dimungkinkan adanya cemaran dari
pelarut tersebut dalam bentuk EG dan DEG. Oleh karena itu, ada aturan yang menyatakan berapa ambang
batas aman cemaran dalam pelarut yang telah disebutkan di atas. Sebagai contoh, propilen glikol memiliki
ambang batas cemaran terhadap EG dan DEG sebesar 0,10%; sementara polietilen glikol sebesar 0,25%
baik untuk EG dan DEG. Hingga saat ini, tidak ada bukti yang menyatakan bahwa Industri secara sengaja
menggunakan kedua bahan berbahaya ini sebagai pelarut produk kefarmasian. Perlu ada penelisikan lebih
lanjut mengenai hal ini.
Selain itu, kita tidak dapat dengan sederhana menyimpulkan, bahwa kematian yang terjadi saat ini,
disebabkan oleh sediaan sirup yang kini tengah dipertanyakan keamanannya. Perlu ditelaah lebih lanjut,
mengenai penyebab utama kematian, faktor medis atau riwayat medis pasien, pola hidup, serta faktor
komplikasi penyakit yang harus ditelisik. Mungkin otopsi dapat menjaid salah satu solusi. Namun, Langkah untuk menghentikan sementara proses jual-beli sediaan sirup sebagai langkah antisipasi perlu diapresiasi. Masyarakat perlu bersabar, dan berkonsultasi dengan apoteker serta dokter untuk tetap mendapatkan terapiyang mampu mengatasi penyakit yang dialaminya.
Salah satunya adalah menggunakan terapi non-farmakologi atau terapi non obat. Demam kurang dari 3 hari dapat dibantu dengan memberikan asupan cairan yang cukup, menggunakan kompres hangat, serta
memberikan asupan nutrisi yang cukup, sembari mengamati perkembangan suhu tubuh pasien. Terdapat
hal yang juga harus diketahui oleh masyarakat, bahwa demam adalah mekanisme pertahanan diri, Demam
dapat disinyalir sebagai alarm dalam memobilisasi sistem pertahanan tubuh terhadap area yang terinfeksi.
Bila terapi non farmakologi tidak cukup, dapat pula menggunakan obat tradisional. Selesma dapat ditahan
dengan baik, salah satunya adalah dengan mengonsumsi jahe merah. Tiga rimpang jahe merah dapat
dikupas, kemudian diperas dan diminum dengan takaran 3 x 1 sendok teh sehari. Namun pastikan untuk
makan terlebih dahulu, mengingat efek samping dari jahe merah adalah meningkatkan asam lambung.
Konsumsi ini juga dilarang bagi ibu hamil dan anak usia di bawah 2 tahun. Bagaimana dengan demam?
Cabe jawa dapat menjadi pilihan. Sebanyak 3-4 gram buah/hari dihaluskan menjadi serbuk, seduh dengan
1 cangkir air mendidih, kemudian diminum selagi hangat. Ramuan ini dapat dikonsumsi sebanyak 2x sehari.
Bila masih belum bisa mengatasi demam atau gejala lain yang dirasakan oleh pasien, maka dapat pula
menggunakan obat sitensis non-sirup. Seperti tablet, kapsul, dan suppositoria. Penggunaan suppositoria
parasetamol dapat digunakan pada anak. Bila merasa tidak nyaman dengan penggunaan suppositoria
melalui dubur, maka dapat pula menggerus tablet menjadi serbuk. Tentu ini adalah perkara dilematis, yang harus diputuskan oleh apoteker. Tablet merupakan suatu produk kefarmasian yang dibuat dengan
memperhatikan berbagai hal. Dari estetik, rasa, hingga keamanan dan efektivitas. Menghancur atau
menggerus tablet, maka dapat merubah minimal satu dari empat faktor tersebut. Terlebih, tidak semua tablet boleh digerus. Maka, akan menjadi jauh lebih bijak, bila pasien atau keluarganya berkonsultasi kepada Apoteker.
Keracunan dan Penawar Racun (Antidotum) EG/DEG
Terdapat satu pertanyaan yang harus dijawab. Sebenarnya, bagaiman proses EG dan DEG hingga
menyebabkan kematian atau keracunan? Kita ambil salah satunya, yaitu DEG. DEG dimetabolisme didalam tubuh oleh enzim yang ada di dalam hati, yaitu Alkohol dehidrogenase (ADH) menjadi asam
hidroksietoksiasetik (HEAA) dan asam diglikolik (DGA). DGA diidentifikasi sebgaai agen nefrotoksik,
yaitu agen yang mampu merusak ginjal. Dosis toksik dari DEG pada kejadian keracunan masal di Haiti
berkisar pada 1-1,5g/kg Berat Badan. Namun, pada dosis 0,5-1 g/kg Berat Badan diasosiasikan dengan
kerusakan ginjal. Berbeda dengan kasus keracunan Panama, dosis DEG yang lebih kecil ≤ 0,09 mg/kg Berat Badan sudah mampu menyebabkan keracunan.
Kerusakan ginjal yang disebabkan oleh DEG, membuat kinerja ginjal menurun. Ginjal tidak mampu lagi
mengeluarkan urin, atau dalam kata lain mengeluarkan zat toksin yang tidak lagi dperlukan tubuh. Hal ini
menyebabkan terjadinya metabolik asidosis, dampak dari ginjal yang tidak mmapu mengeluarkan kelebih
an asam melalui urin. Metabolik asidosis memiliki gejala klinis, seperti mual muntah, kehilangan nafsu
makan, peningkatan denyut jantung, pernapasan menjadi cepat dan dalam, hingga sesak napas. Lantas,
bagaimana penanganannya? Karena asam di dalam tubuh terlalu tinggi, maka, kita netralkan dengan
senyawa basa, seperti sodium bikarbonat, potasium bikarbonat, atau potasium sitrat.