Oleh Ananda Perdana Anwar
Satu ketika, seorang teman duduk di pelataran kedai kopi miliknya. Ia memandangi berbagai macam jenis tanaman. Bunga yang sedang mekar. Dedaunan menghijau dan berwarna kesayangannya sudah membesar.
Kemudian ia masuk menuju teko air. Disiraminya tanaman yang banyak di pekarangan kedainya yang layak disebut taman. Satu kali siram, ia mengucap kalimat syukur dan sayang. Ia begitu menyayangi setiap helai daunnya. Padahal, hari sedang malam.
“Mereka hidup, dan juga perlu nutrisi di malam hari,” ujarnya tersenyum. Baginya, mengabdi untuk tumbuhan, meluangkan waktu untuk tanaman adalah bentuk terima kasih kepada pencipta. Bentuk terima kasih terhadal semesta.
Maka tak pelak, baginya keberuntungan-keberuntungan yang terjadi sering kali datang melalui perkara sederhana, sesederhana menyayangi tanaman yang hampir mati. Memindahkan dari tempat gersang ke tempat yang subur agar selalu bertumbuh.
Baginya, merawat tanaman sama dengan merawat pikiran. Jika tak dipupuk dan diberi asupan diskusi semisal berkomunikasi, maka pikiran akan mati. Tak dinyana, ia juga kerap berbicara dengan dedaunan dan tanaman itu.
Lantas ia duduk mendampingi saya. Lalu mengingat perlakuannya terhadap paku-paku dan satu benda yang sering menghalangi di jalanan.